# 2. Tukang Becak yang Bisa Menyekolahkan Kelima
Anaknya
Jakarta, 09 september 2005
Pagi buta, matahari masih tampak sayup menampakkan
cahaya,tapi langit Jakarta seolah telah terang benderang. Gedung-gedung yang
angkuh penuh congkak berdiri megah memamerkan kesombongannya pada sisi
gubuk-gubuk kumuh,kumal,tak terurus memperlihatkan perlawanan yang sengit.
Semua orang punya kepentingan dan kepentingan orang kaya yang sombonglah yang
akan selalu menang.
Roda bus terhenti pada sebuah agen pemberhentian, Tari
yang hanya berbekal alamat pamannya yang bernama Slamet dan nomor handphonnya,
Tari berusaha mencari wartel agar bisa
mengabari pamannya kalau dia sudah sampai di Jakarta.
Sayup-sayup matanya yang masih lelah, karena hampir disepanjang
perjalanan dia tidak memicingkan matanya dari melihat dunia baru, dunia nyata
yang akan dia hadapi. Membayangkan pekerjaan apa yang akan dia
geluti,membayangkan dekapan hangat ibunya, membayangkan Hasbi dan Syaiful adik-adiknya,membayangkan
masa depannya yang begitu suram. Aahh….tidak bisa membuat mata terpejam
semalaman.
Dengan bertanya pada tukang ojek bajai,yang mangkal
dekat dengan agen pemberhentian bus, Tari
bertanya
“maaf pak’e,ada
wartel dimana ya..?” Tari bertanya
dengan logat bahasanya yang masih medok.
“oh ayo tak
terke,nek neng kene no ora enek..(oh..ayo saya antarkan,kalau disini tidak
ada)..” bapak tukang bajai yang tahu Tari masih medok bahasanya,menimpali
dengan logat asli jawa.
“ bapak’e tiang
jawi to..( bapak orang jawa to)?” Tari yang heran,dalam benaknya orang
Jakarta itu tidak bisa ngomong dengan bahasa daerah.
“oalah..mbak-mbak,
Jakarta ki isine wong jowo kabeh, coba to nek pas bodho lak Jakarta sepi
nyenyet.(Jakarta itu isinya orang jawa semua,coba kalau pas lebaran pasti
Jakarta sepi)” bapak tukang bajai menerangkan, suaranya yang keras terkadang
hilang kalah dengan suara deru bajai yang memekakkan telinga.
Sejenak Tari terdiam yang ada hanya terdengar suara
bajai yang memecahkan kesunyian pagi. Menggiringnya pada roda nasib yang siap
akan mengubah nasib hidupnya.
***
“Pak lek..ini
Tari saya sudah sampai di Jakarta, sekarang sedang di wartel yang dekat dengan
rumah susun”
Tak berselang lama,
Datanglah seorang laki-laki bertubuh gempal,hitam
berminyak, dengan kumis sedikit tebal menghiasi wajah garangnya, meskipun sudah
kurang lebih dua tahun Tari tidak bertemu dengannya, Tari tidak lupa dengan
pamannya itu.
“ pak lek
slamet, gimana kabarnya….?” Tari menjabat tangan kekar pamannya.
“ baik-baik, Ini
bener Tari..?,kok sudah gadis to, ayu pisan…” Pamannya menerima jabatan
keponakannya dengan perasaan yang tidak karuan,dan setengah tidak percaya.
Keponakannya yang dahulu diwaktu kecil sering dia timang dan minta dibelikan
mainan, kini beranjak menjadi gadis remaja yang matang dan memancarkan
kecantikan alami.
“ iya bener to
pak lek, saya saja tidak pangling sama pak lek.. ”
“ pak lek
bener-bener pangling lho nduk(sebutan untuk anak gadis)…”
“yo sudah
sekarang ayo ke kontrakane pak lek, sini barangnya paklek bawakan..”
Dengan menaiki becak yang biasa digunakan pamannya
Slamet mencari penghidupan sebagai pengayuh becak selama bertahun-tahun, Tari
tertegun dan memikirkan nasib pamannya, becak inilah yang bisa menyekolahkan
kelima anaknya. Meski orang dikampung sana tidak tahu, betapa perjuangan
pamannya yang sangat keras demi mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk masa
depan anak dan keluarganya. Sungguh sangat berlawanan dengan apa yang Tari
lihat di kampung halaman sana. Jauh-jauh ke Jakarta hanya jadi tukang becak,
ah..sekali lagi inilah takdir,takdir yang akan selalu menyertai setiap
perjalanan hidup manusia.
Apakah paklek Slamet merasa menyesal, jika jauh-jauh
dari kampung halaman sana, ke Jakarta hanya jadi tukang becak?, atau ada orang
yang lebih parah dengan kondisi paklek slamet, yang dengan bersusah payah dari
kampung datang ke Jakarta tapi tak punya arah dan tujuan,gambaran banyak orang
yang sudah pernah ke Jakarta, cari uang di sini itu mudah, tapi
kenyataanya…menyesakkan dada. Sekali lagi hidup itu adalah pergiliran
takdir,yang sudah tersimpan rapi di mega server Lauhul mahfudz.
Entah baik atau buruk, takdir tetaplah harus di jalani.
Baik dan buruk akan selalu menjadi teman yang setia, dalam perjalanan hidup
manusia. Manusia sudah diberikan paket pilihan oleh Tuhan Yang Maha Adil,
tinggal manusia yang bebas memilihnya.
Tari khusyuk larut dalam sholatnya, meski terkadang
mulai terganggu dengan suara bising keramaian pagi yang sudah mulai menggeliat
ada jalan selama ada perjuangan
BalasHapus